Rerata Nilai TKA Jeblok: Alarm Bahaya Pendidikan

Rabu, 24 Desember 2025 | 19:55:35 WIB
Sejumlah siswa mengikuti ujian Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di SMP Negeri 1 Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (19/9/2022). (ilustrasi)

Jakarta,sorotkabar.com — Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai rendahnya nilai Tes Kompetensi Akademik (TKA) 2025, khususnya pada mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika, bukanlah hal yang mengejutkan. Menurut JPPI, hasil tersebut justru mengonfirmasi persoalan mendasar kualitas pendidikan nasional yang selama ini tidak dibenahi secara serius.

Dalam data capaian nasional yang dihimpun Republika, rerata nilai Matematika wajib 36,10 dari 3.489.148 siswa. Sedangkan rerata Bahasa Indonesia 55,38 dari 3.477.893 siswa. Kemudian nilai Bahasa Inggris wajib 24,93 dari 3.509.688 siswa.

Begitu juga dalam rerata nilai TKA berdasarkan jenjang SMA atau SMK. Untuk TKA di jenjang SMA nilai rerata TKA bahasa Indonesia (57,39), matematika (37,23), dan bahasa Inggris (26,71). Kemudian untuk jenjang SMK nilai rerata TKA bahasa Indonesia (53,62), matematika (34,74), dan bahasa Inggris (22,55).

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menekankan rendahnya nilai TKA 2025 harus menjadi alarm serius bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Hasil ini harus diikuti pembenahan menyeluruh.

“Presiden harus fokus di sektor pendidikan. Anggaran pendidikan tidak berpihak pada pendidikan. Selama pemerintah menyepelekan pendidikan dan tidak punya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan, perbaikannya hanya akan seperti polesan kosmetik saja, tidak menyentuh akar masalah,” kata Ubaid, saat dihubungi Republika Rabu (24/12/2025).

Ubaid mengatakan capaian TKA yang rendah sejalan dengan berbagai hasil asesmen pendidikan sebelumnya.  “Sama sekali tidak mengejutkan. Dari dulu juga sudah buruk. Dari berbagai instrumen asesmen yg lain juga buruk. Jadi ini memang kenyataan kualitas pendidikan kita memang buruk. Ya harus diterima dan diperbaiki. Jangan diassessment mulu tapi ga pernah diperbaiki,” ujar Ubaid.

Menurut Ubaid rendahnya nilai TKA tidak hanya terjadi pada Matematika dan Bahasa Inggris, termasuk Bahasa Indonesia. Ia menilai persoalan utama bukan semata kemampuan siswa, melainkan lemahnya tata kelola pendidikan secara menyeluruh.

“Tidak hanya persoalan gurunya, tapi juga soal kepemimpinan sekolah, evaluasi yang tidak berkualitas, pengawasannya yang lemah, quality control-nya juga bermasalah. Infrastruktur Sekolahnya juga masih parah dan tidak ramah anak. Jadi mesti dibenahi semua karena problemnya sudah sistemik dan terstruktur, tidak bisa diselesaikan hanya parsial,” katanya.

Disinggung apakah ada pengaruh terkait metode pembelajaran dan kurikulum, JPPI menilai rendahnya hasil TKA tidak bisa serta-merta disalahkan pada kurikulum yang berlaku saat ini. Menurut Ubaid, pergantian kurikulum yang berulang tidak pernah menghasilkan peningkatan signifikan karena tidak diiringi perbaikan sistem pendukung.

“Menurut saya ini nggak ada pengaruhnya dengan kurikulum. Dari dulu kurikulum digonta-ganti ya masih buruk juga hasilnya sampai sekarang,” katanya.

JPPI juga menyoroti lemahnya pembinaan dan pelatihan guru, termasuk pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Ubaid menilai tidak ada sistem pembinaan guru yang berjenjang, sistematis, dan berkelanjutan, serta minim dukungan anggaran.

“Pembinaan guru di semua mapel masih sangat lemah. Kenapa? Ya ga ada sistem yang berjenjang, sistematis dan berkelanjutan. Nggak ada dukungan anggaran juga. Jadi mau melakukan apa? Ya gini-gini aja jalan di tempat.,” kata dia.(*)

Halaman :

Terkini