Warga Gaza Ubah Sampah Plastik Jadi Solar, Bertahan di Tengah Blokade

Warga Gaza Ubah Sampah Plastik Jadi Solar, Bertahan di Tengah Blokade
Warga Palestina bekerja di bengkel darurat untuk membuat bahan bakar dari sampah plastik di Kota Gaza, pada 29 April 2025. (foto: xinhua/rizek abdeljawad).

Gaza,sorotkabar.com – Di tengah blokade total Israel yang telah berlangsung lebih dari dua bulan, sekelompok warga Palestina di Gaza mengubah limbah plastik menjadi bahan bakar untuk bertahan hidup.

Di sebuah pabrik darurat di tengah reruntuhan barat Kota Gaza, mereka melelehkan plastik dalam bejana logam besar untuk menghasilkan solar, bensin, dan minyak kental.

"Kami mengumpulkan plastik dari bangunan yang hancur dan meleburnya untuk membuat bahan bakar," ujar Saad al-Din Abu Ajwa (45), pemilik pabrik, Sabtu (10/5/2025).

Didukung oleh saudara dan beberapa teman, pabrik milik Abu Ajwa mampu memproduksi sekitar 500 liter solar setiap hari.

Bahan bakar tersebut dijual langsung kepada warga yang mengantre dengan jeriken demi menyalakan generator, kendaraan roda tiga, hingga pompa air.

"Tujuan kami bukan mencari untung, tapi bertahan hidup. Tanpa bahan bakar, rumah sakit, ambulans, dan pabrik desalinasi air akan lumpuh," jelas Abu Ajwa.

Sejak konflik Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, Israel memberlakukan blokade total. Juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmoud Basal, menyebut pasokan bahan bakar benar-benar terhenti sejak 2 Maret 2025.

Menurut data PBB, hanya sebagian kecil bahan bakar yang berhasil masuk ke Gaza, itupun mayoritas disalurkan ke rumah sakit.

Sementara itu, SPBU ditutup total dan pasar gelap menjual solar hingga US$70 per liter.

Di tengah krisis itu, solar buatan lokal seperti dari pabrik Abu Ajwa menjadi satu-satunya harapan.

Abu Majed Sukar (38), sopir kendaraan roda tiga, membeli solar di sana setiap hari untuk mengangkut penumpang.

"Tanpa solar ini, kami harus pakai kereta keledai. Perjalanan satu jam bisa jadi empat jam. Solar lokal harganya US$14 per liter, masih mahal tapi jauh lebih murah dari pasar gelap," ungkap Sukar.

Namun, produksi solar dari plastik membawa risiko besar. Pabrik darurat itu mengeluarkan asap hitam pekat, dan para pekerja tanpa perlindungan memadai menghadapi suhu ekstrem serta zat berbahaya.

"Banyak dari kami sesak napas, bahkan batuk darah. Tapi kami tak punya pilihan," tutur Mohammed Al-Arabeed, salah satu karyawan.

Meski berisiko, Al-Arabeed menegaskan bahwa pekerjaan ini bukan sekadar produksi, tetapi misi hidup.

"Solar ini membuat rumah sakit tetap buka, air tetap mengalir. Kami menjaga Gaza tetap hidup meski terseok-seok," ujarnya.

Tantangan lain pun muncul. Ketersediaan sampah plastik sebagai bahan baku semakin menipis.

"Kami cari plastik ke reruntuhan, tapi sekarang makin sulit. Kalau terus seperti ini, kami mungkin harus menutup pabrik," kata Abu Ajwa.

Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. UNRWA memperingatkan bahwa kelaparan, kekurangan obat, dan keterbatasan bahan bakar mengancam keselamatan warga. Mereka mendesak agar jalur penyeberangan segera dibuka.

Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail Al-Thawabta, menyebut bahwa mengubah plastik menjadi bahan bakar mencerminkan keputusasaan, bukan keberlanjutan.

"Ada risiko lingkungan dan kesehatan yang serius, tapi rakyat tak punya pilihan," ujarnya.

Meski dihadang risiko, Abu Ajwa dan timnya tetap bertahan.

"Kami tunjukkan kepada dunia bahwa kami tetap hidup meski semuanya nyaris musnah. Kami butuh bantuan, kami butuh bahan bakar, kami butuh dunia peduli," tutup Abu Ajwa. (*) 
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index