Walhi Riau Luncurkan Tinjauan Lingkungan Hidup 2025: Seruan Memutus Konflik Ekologis untuk Pemimpin Baru

Walhi Riau Luncurkan Tinjauan Lingkungan Hidup 2025: Seruan Memutus Konflik Ekologis untuk Pemimpin Baru
Seruan Memutus Konflik Ekologis untuk Pemimpin Baru

Pekanbaru,sorotkabar.com – Walhi Riau resmi meluncurkan publikasi tahunan bertajuk "Memutus Konflik Ekologis di Tanah Melayu: Sebuah Tawaran Kepada Rezim Baru" dalam bentuk Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) 2025. Peluncuran ini berlangsung di Rumah Gerakan Rakyat Walhi Riau, Jumat (24/1/2025), dengan menghadirkan narasumber Even Sembiring, Sri Depi, Ahlul Fadli, dan Resika Siboro.

Dokumen ini mengulas situasi politik elektoral 2024 yang dinilai minim melahirkan pemimpin dan gagasan progresif dalam menyelesaikan persoalan lingkungan serta perlindungan masyarakat adat di Riau dan Kepulauan Riau.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Even Sembiring, menyoroti bagaimana visi, misi, serta program pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Riau terpilih masih berorientasi pada ekonomi kapitalistik.

"Pemimpin baru Riau masih menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama kemajuan. Hanya saja, mereka membungkusnya dengan konsep ekonomi hijau dan biru, yang sejatinya tetap berorientasi pada ekspansi bisnis dan transformasi komoditas tanpa mempertimbangkan keadilan, kepemilikan, serta perlindungan hak masyarakat atas sumber daya alam," jelas Even.

Ia juga menyoroti fenomena maraknya perizinan Perhutanan Berusaha Pemanfaatan Hutan Restorasi Ekosistem (PBPH-RE) di Riau.

"Kita perlu mempertanyakan siapa yang paling diuntungkan dari skema ini? Apakah model pembangunan seperti ini yang kita harapkan?" tambahnya.

Lebih lanjut, Even menyinggung kondisi Kepulauan Riau yang kini dikepung oleh tujuh Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk Rempang dan Tanjung Sauh, yang menyebabkan penggusuran masyarakat adat dan lokal dengan dalih pembangunan.

Konflik Ekologi yang Meningkat

Sri Depi Surya Azizah dari Walhi Riau memaparkan bagaimana konflik ekologi di Riau terus terjadi, tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga ekosistem dan satwa.

"Deforestasi di Riau sudah berlangsung sejak 1983 akibat penerbitan izin kehutanan. Hutan-hutan alam yang ditebang kemudian dialihfungsikan menjadi perkebunan kayu dan sawit skala besar. Hal serupa juga terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil, di mana 482 km wilayah pesisir Riau mengalami abrasi akibat rusaknya ekosistem mangrove," jelas Depi.

Ia juga menyoroti dampak konflik lingkungan terhadap perempuan, seperti yang terjadi di Pulau Mendol dan Rempang, di mana mereka menghadapi ancaman perampasan lahan, intimidasi, hingga kekerasan.

Kritik terhadap Kebijakan Pangan dan Investasi

Ahlul Fadli, Manajer Kampanye Walhi Riau, menilai kebijakan makan siang gratis pemerintah kontradiktif dengan rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk pangan dan ekspansi perkebunan sawit.

"Alih fungsi hutan dengan dalih swasembada pangan akan merusak lingkungan dan justru memperparah stunting akibat krisis ekologi. Seperti di Papua, di mana penghancuran hutan sagu menyebabkan krisis pangan bagi Orang Asli Papua (OAP)," jelas Ahlul.

Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam kebijakan ini, termasuk pengelolaan limbah kemasan dan sisa makanan yang berpotensi menjadi masalah lingkungan baru.

Dalam kesempatan yang sama, Resika Siboro dari YLBHI-LBH Pekanbaru mengkritik keberpihakan pemerintah terhadap investasi yang terus mengorbankan hak masyarakat.

"Rempang adalah bukti nyata bagaimana hak masyarakat adat dirampas atas nama investasi. Represi terhadap warga terus dibiarkan, seperti yang terjadi pada 18 September dan 18 Desember 2024, di mana aparat tidak mencegah serangan terhadap warga," tegasnya.

Sebagai penutup, Walhi Riau menyerukan pentingnya konsolidasi dan solidaritas untuk memutus rantai konflik ekologis di Tanah Melayu.

"Untuk memastikan masyarakat adat dan saudara kita di Kepulauan Riau tetap tangguh, kita harus memperluas solidaritas dari tanah Melayu. Suara solidaritas dan tuntutan keadilan akan menjadi kekuatan bagi mereka untuk mempertahankan tanah dan identitasnya," tutup Even. *
 

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index