Gaza, sorotkabar.com – Pasukan dari Indonesia dilaporkan media-media Israel akan menjadi inti Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang akan dikerahkan di Gaza.
Para pakar di Tanah Air mewanti-wanti jangan sampai pengiriman pasukan ke Gaza ini jadi blunder bagi pemerintah jika sampai memicu konflik dengan kelompok perlawanan Hamas.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Broto Wardoyo mengingatkan “pasukan stabilisasi” memiliki peran yang berbeda dengan “pasukan perdamaian”. “Untuk pasukan stabilisasi sifatnya bisa ofensif karena untuk menjaga ketertiban dan memastikan keamanan,” ujarnya saat dihubungi Republika, Jumat.
Ini berbeda dengan pasukan perdamaian, peran yang selama ini dijalankan TNI-Polri di berbagai wilayah konflik. Sebagai pasukan perdamaian, tentara dan polisi Indonesia tak bisa membalas jika diserang seperti yang terjadi di Lebanon tahun lalu.
Sementara merujuk 20 poin perjanjian gencatan senjata yang diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, ada poin soal pelucutan senjata Hamas. Jika kemudian pasukan Indonesia jadi pasukan inti, bukan hanya berstatus pasukan pendukung, maka potensi konflik dengan Hamas akan terbuka lebar.
“Jika begitu, maka kemungkinan pasukan ini ‘tabrakan’ dengan Hamas sangat terbuka,” kata Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional UI tersebut. Ini bisa kemudian membuat pengiriman pasukan ke Gaza jadi blunder bagi pemerintah.
“Bayangkan jika ada berita tiba-tiba tentara kita terlibat kontak senjata dengan Hamas. Ini akan jadi persoalan bagi publik Tanah Air,” ia menambahkan.
Sementara dalam poin-poin kesepakatan, ada juga soal wilayah operasi pasukan penjajahan Israel (IDF) sebelum penarikan penuh. Batas-batas yang belakangan disebut “Garis Kuning” ini tak punya penanda jelas di lapangan. Artinya, pasukan IDF yang keluar dari demarkasi juga punya potensi berkonflik dengan TNI.
Broto menekankan, hal-hal ini harus diklarifikasi oleh pemerintah. Utamanya soal peran pokok pasukan yang akan diterjunkan ke Gaza. Selain itu, sejauh ini banyak persoalan-persoalan teknis lainnya juga masih banyak yang belum disampaikan ke publik.
“Misalnya nanti ditempatkan di mana pasukannya. Bagaimana kalau ditempatkan di utara?” kata dia. Utara Gaza diketahui jadi salah satu pusat perlawanan Hamas yang belakangan dibombardir Israel.
Broto Wardoyo mengingatkan, melucuti senjata Hamas juga bukan perkara mudah. “Memangnya dulu mudah kita minta GAM serahkan senjata di Aceh? Mudah meminta OPM menyerahkan senjata?”
Latihan Pilar Perkasa yang digelar kesatuan faksi perlawanan Palestina di Gaza pada September 2023.
Selain itu, bukan hanya Hamas saja kelompok bersenjata di Gaza. Ada Jihad Islam Palestina, Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Front Populer – Komando Umum, Front Demokratik (DFLP). Masing-masing kelompok ini memiliki sayap militer. “Dan mereka bisa lebih keras dari Hamas. Ini kompleksitas yang harus dipahami” ujar Broto Wardoyo.
Ia mengatakan pemerintah saat ini memang terkesan ingin lebih terlibat lebih jauh dalam upaya perdamaian di Palestina. Namun, niat ini juga harus disertai pemahaman yang jauh lebih dalam soal sengkarut di wilayah tersebut. “Kehati-hatian harus diutamakan. Banyak faktor yang harus benar-benar diperhatikan.”
Hal serupa ditekankan, pakar kajian Timur Tengah Smith Alhadar. “Bisa-bisa kita jadi korban, ingin bantu Palestina tapi kemudian malah melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri,” kata penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) itu.
Ia memerkirakan, AS dan Israel ingin Indonesia jadi ujung tombak pasukan asing di Gaza karena pilihannya semakin menipis. Israel tak ingin pasukan Turki terlibat karena keduanya sedang bergesekan soal Suriah dan juga kondisi di Gaza.
Sementara negara-negara Arab enggan terlibat karena khawatir akan menimbulkan gejolak di masyarakat bila terkesan berkonflik dengan Hamas. “Resistensi terhadap Israel sanget kuat di masyarakat Arab sejak genosida,” kata dia.
Ia menduga, Presiden Prabowo Subianto ingin mendapat kredit dari Amerika Serikat dan negara-negara Arab terkait kesiapannya mengirimkan pasukan ke Gaza. Ini terlihat dari pidato Prabowo di hadapan sidang Majelis Umum PBB beberapa waktu lalu yang kemudian dikapitalisasi Israel. “Jika kita perhatikan redaksionalnya, Prabowo menekankan pentingnya keamanan Israel. Mengapa bukan pentingnya keamanan Gaza yang dua tahun jadi korban genosida Israel?”
Namun, jika pengiriman pasukan ke Gaza akan berujung konflik dengan Hamas, semua keuntungan ekonomi dan politik yang dibayangkan Prabowo tersebut bisa berbalik menjadi kerugian.
Smith juga meyakini, upaya pelucutan Hamas tak bakal bisa begitu saja dilakukan. “Dua tahun Israel memerangi Hamas. Israel sudah mengerahkan semuanya dari kekuatan militer hingga dukungan dari AS dan Eropa.Gaza hancur lebur, tetapi Hamas tetap solid,” kata dia.
Buktinya, begitu gencatan senjata diumumkan dan Israel menarik sebagian pasukannya, Hamas langsung keluar menyisir geng-geng bersenjata peliharaan Israel di Gaza,
“Ini garis merah Hamas. Tak mungkin ia melucuti senjata sementara Otoritas Palestina kehilangan legitimasi dan Israel terus menganeksasi Tepi Barat. Hal ini akan membuat terbentuknya negara Palestina seperti mimpi di siang bolong.”
Pakar ilmu hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Dina Sulaeman menekankan, Indonesia hanya bisa terlibat pasukan perdamaian jika dibentuk melalui mandat dari Dewan Keamanan PBB, bukan mandat dari AS dan Israel.
“TNI tidak boleh diumpankan, diperalat, atau diadu dengan rakyat Gaza yang sedang berjuang untuk kemerdekaan mereka. Tindakan internasional kita harus fokus melindungi rakyat di daerah konflik, bukan memfasilitasi dominasi militer pihak eksternal,” kata dia.
Menurutnya, wacana penempatan pasukan dari Indonesia dalam “Pasukan Stabilisasi Gaza” merupakan upaya propaganda, dengan berlindung di balik istilah yang seolah positif seperti stabilisasi, demiliterisasi, dan proteksi sipil.
Narasi ini, menurutnya dipakai untuk menggeser tanggung jawab dari pihak yang melakukan agresi, yaitu Israel, kepada Palestina yang menjadi korban agresi.
Dalam skema itu, bangsa Palestina yang sudah 77 tahun dijajah, diposisikan sebagai pihak yang bersalah yang harus dilucuti senjatanya supaya tidak lagi melawan kepada penjajahnya.
“Pasukan stabilisasi Gaza versi AS-Israel, jika didukung Indonesia, akan dipandang sebagai pasukan yang berpihak pada Palestina, padahal sebenarnya pasukan bentukan AS-Israel itu sedang membungkam hak resistensi rakyat tertindas,” ujar Dina.
“Karena itu, harapan saya, pemerintah tetap mempertahankan prinsip dasar bangsa Indonesia, yaitu kedaulatan dan martabat rakyat Palestina harus menjadi titik tolak kebijakan luar negeri kita,” ia menambahkan.
Israel Hayom sebelumnya memberitaan pasukan dari Azerbaijan dan Indonesia diharapkan menjadi inti Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang akan dikerahkan di Gaza.
Hal ini muncul dari diskusi baru-baru ini antara Wakil Presiden AS JD Vance, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan tim masing-masing. Pasukan tersebut diperkirakan terdiri dari puluhan ribu tentara.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menyumbangkan pasukannya untuk misi kepolisian internasional di bawah PBB, termasuk kepada Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL).
Israel telah memelihara hubungan dekat dan jangka panjang dengan Azerbaijan di berbagai bidang, termasuk kerja sama keamanan.
Langkah untuk mengerahkan pasukan dari dua negara mayoritas Muslim ini terjadi setelah Israel memblokir partisipasi Turki dalam pasukan Gaza.
Israel Hayom telah mengetahui bahwa AS menerima posisi Israel, dan pasukan Turki tidak akan mengambil bagian dalam operasi militer di Gaza.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menolak berpartisipasi dalam misi tersebut.
Selain itu, Presiden Donald Trump telah menegaskan bahwa pasukan AS tidak akan memasuki Gaza. Gagasan untuk mengerahkan tentara Qatar untuk mendemiliterisasi Gaza tidak pernah dipertimbangkan.
Proses koordinasi penempatan pasukan Indonesia dan Azerbaijan disebut sedang berlangsung namun masih dalam tahap awal.
Salah satu kendalanya adalah desakan Indonesia bahwa kekuatan internasional mana pun harus disahkan oleh resolusi Dewan Keamanan PBB.(*)