Menjamin akses pendidikan anak-anak pekerja migran Indonesia di Malaysia

Senin, 22 September 2025 | 20:52:50 WIB

Kuala Lumpur, sorotkabar.com - Pendidikan merupakan hak asasi manusia yang fundamental, dan menjadi hak setiap warga negara untuk memperolehnya, tidak terkecuali bagi anak-anak warga negara Indonesia, termasuk pekerja migran Indonesia di luar negeri.

Malaysia merupakan salah satu negara dengan jumlah pekerja migran Indonesia terbesar di dunia. Kemiripan bahasa, adat dan budaya antara Indonesia dengan Malaysia menjadi salah satu faktor banyaknya orang Indonesia yang memilih bekerja di Malaysia.

Berdasarkan data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), saat ini terdapat 543.000 pekerja migran Indonesia di Malaysia.

Jumlah pekerja migran Indonesia di Malaysia memang menurun dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, misalnya sebelum terjadinya pandemi COVID-19, yang mencapai 2,75-3 juta orang.

Meskipun demikian, jumlah pekerja migran Indonesia itu tetap saja tidak sedikit, apalagi jika ditambah dengan pekerja migran nonprosedural yang diperkirakan mencapai 900.000, hingga satu juta orang.

Memastikan hak anak-anak pekerja migran Indonesia dalam memperoleh pendidikan tentu bukan perkara mudah, apalagi di wilayah dengan jumlah pekerja migran Indonesia terbesar, dengan beragam persoalannya.

Duta Besar RI untuk Malaysia Dato’ Indera Hermono mengatakan KBRI Kuala Lumpur merupakan kedutaan besar RI paling besar dan tersibuk di seluruh Indonesia, khususnya terkait penanganan pekerja migran Indonesia.

Kesibukan, salah satunya mengurus pekerja migran Indonesia, tercermin dari banyaknya pegawai di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur yang mencapai 220 orang, terdiri atas diplomat dan staf lokal.

Tugas-tugas KBRI Kuala Lumpur juga padat, antara lain melakukan diplomasi serta memberikan pelayanan kepada para WNI, khususnya pekerja migran Indonesia, selain juga mengurus kunjungan pejabat Indonesia yang intensitasnya cukup sering, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, pertahanan, hingga kepolisian.

Dubes Hermono menuturkan di samping beragam tugas tersebut, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur saat ini berfokus dalam memberikan atau memastikan akses pendidikan kepada anak-anak warga negara Indonesia, termasuk pekerja migran Indonesia di Malaysia.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menfasilitasi anak-anak pekerja migran Indonesia itu adalah dengan mendirikan sanggar-sanggar belajar bagi anak-anak Indonesia di Malaysia.

Kedutaan memiliki 3 sanggar belajar yang menyediakan pendidikan bagi anak-anak pekerja migran Indonesia di Malaysia.

Sementara secara keseluruhan di wilayah Semenanjung Malaysia, terdapat sekurang-kurangnya 77 sanggar belajar yang dapat menampung 2.500 anak-anak pekerja migran Indonesia. Kedutaan besar dibantu oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam upaya memenuhi hak pendidikan anak-anak pekerja migran Indonesia.

Program inilah yang tengah digalakkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia.

Selain itu kedutaan juga sedang berupaya memperluas kapasitas tampung Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL), agar dapat semakin banyak menampung anak-anak pekerja migran Indonesia yang berada di Malaysia.

SIKL yang didirikan sejak 1969, awalnya diperuntukkan untuk anak-anak diplomat yang bertugas di Malaysia, namun dalam perkembangannya sekolah ini juga melayani kebutuhan pendidikan bagi pekerja migran Indonesia dan ekspatriat lain yang bekerja di Malaysia.

Menurut Dubes Hermono, sebelumnya anak pekerja migran Indonesia yang sekolah di SIKL tidak lebih dari 10 persen, tetapi saat ini jumlahnya sudah mencapai 80 persen.

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur berkomitmen untuk terus berupaya memberikan akses pendidikan bagi anak pekerja migran Indonesia.

PMI tanpa dokumen

Pemenuhan akses pendidikan formal bagi anak-anak pekerja migran Indonesia bukan hanya soal pemberian aksesnya. Ada juga persoalan ketika anak pekerja migran Indonesia tidak memiliki dokumen lengkap, sehingga kesulitan mendapatkan akses pendidikan formal.

Sebagai solusi atas permasalahan itu, maka didirikan sanggar belajar atau sanggar bimbingan (SB).

Konsul Jenderal RI di Penang Malaysia Wanton Saragih menyampaikan tujuan awal pendirian SB adalah memberikan akses pendidikan bagi anak-anak WNI dari pekerja migran Indonesia yang tidak memiliki dokumen resmi.

Selama ini KJRI Penang turut memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di SB yang berada di wilayah kerjanya, untuk memastikan proses pembelajaran berjalan sesuai dengan tujuan awal pendirian SB tersebut, agar anak-anak WNI yang tidak memiliki dokumen resmi tetap dapat bersekolah.

Bentuk pengawasan ini dilakukan melalui dialog aktif dengan para pengurus SB, saling bertukar pikiran, serta menerima laporan berkala dari pengurus terkait perkembangan kegiatan pembelajaran.

Wanton menyampaikan KJRI tidak terlibat langsung dalam penyusunan kurikulum, karena hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus SB. Kurikulum disusun oleh para pengurus SB dengan mempertimbangkan kebutuhan pembelajaran anak-anak didik.

Kurikulum ini disesuaikan dengan materi ajar yang berlaku di Indonesia agar anak-anak tetap memiliki pengetahuan dasar yang sejalan dengan sistem pendidikan di tanah air.

KJRI secara berkala juga memberikan dukungan kepada SB, baik dalam bentuk bantuan dana, sarana-prasarana, maupun koordinasi dengan pihak terkait. Bantuan juga datang dari berbagai pihak, seperti Duta Besar RI di Kuala Lumpur, Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Kuala Lumpur, serta Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) RI di KBRI KL.

Bentuk bantuan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan, seperti penyediaan peralatan belajar, perbaikan fasilitas, atau dukungan tenaga pengajar jika diperlukan. Semua sanggar bimbingan yang telah terdaftar, dalam pelaksanaannya berada di bawah naungan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) KBRI Kuala Lumpur.

Atase Pendidikan dan Kebudayaan memberikan bantuan berupa buku/modul pembelajaran, ujian kesetaraan untuk memperoleh ijazah, dan pelatihan peningkatan kompetensi para guru sanggar bimbingan secara berkala.

Proses pendirian SB

Pada tahun 2019, setelah Pertubuhan Masyarakat Indonesia (Permai) Pulau Pinang mendapatkan izin dari Jabatan Pendaftaran Pertubuhan Malaysia (R.O.S) dengan nomor pendaftaran PPM-006-07-04022019, Permai mulai mengembangkan program SB, dengan menggunakan kurikulum Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B, dan C).

Pendirian SB Permai Penang ini diresmikan pada tahun 2021 yang dilakukan oleh Konjen RI Penang dan Atdikbud KBRI KL, serta dihadiri oleh Fungsi Pensosbud KJRI Penang pada masa itu.

Seiring waktu, SB berkembang dengan pembentukan SB Permai Kulim di Kedah pada tahun 2022, serta SB AMI dan SB Al Rahmah di Bukit Mertajam, Penang. Proses perizinan pelaksanaan kegiatan SB sendiri menginduk sepenuhnya kepada izin pendirian Permai yang diberikan oleh pihak berwenang Malaysia.

Jumlah siswa di SB itu per 19 September 2025 adalah 125 siswa, terdiri atas 61 siswa di SB Permai Penang, 35 siswa di SB AMI, 44 siswa di Al Rahman, dan SB Permai Kulim 20 siswa.

Pendidikan agama-karakter

KJRI Penang menilai bahwa pendidikan akhlak dan nilai-nilai keagamaan sangat penting bagi pembentukan karakter anak didik, meskipun SB bersifat terbuka untuk semua kalangan dan agama.

Saat ini, mayoritas siswa di SB berasal dari latar belakang Islam dan Kristen. Materi keagamaan diajarkan oleh tenaga pengajar yang tersedia, dengan harapan dapat membentuk karakter dan nilai-nilai moral yang baik.

Kehadiran SB dinilai sangat berpengaruh positif dalam pembentukan karakter anak-anak PMI, terutama bagi mereka yang tidak memiliki dokumen sah, sehingga tidak dapat mengakses pendidikan formal di Malaysia.

Selain mengikuti kurikulum yang disesuaikan dengan sistem pendidikan Indonesia, siswa juga mendapatkan pendidikan wawasan kebangsaan, dan penguatan identitas sebagai WNI, baik dari pengajar rutin maupun akademisi yang melakukan pengabdian masyarakat.

Menurut Wanton, secara umum orang tua siswa di SB Permai Penang, SB Permai Kulim, SB AMI, dan SB Al Rahmah memberikan dukungan kuat dengan tetap mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar.

Hanya saja, di SB Permai Kulim, terdapat beberapa orang tua yang mulai enggan mengikutsertakan anaknya, meskipun biaya iuran relatif terjangkau, yaitu RM50 per bulan per anak. Salah satu tantangan utama yang dihadapi SB adalah keterbatasan sarana-prasarana, seperti kebutuhan perbaikan gedung.

Hingga saat ini, belum ada masalah serius yang dilaporkan oleh pengurus SB kepada KJRI Penang, namun KJRI siap berkoordinasi dengan Atdikbud KBRI KL dan pihak terkait lainnya untuk membantu mengatasi berbagai kendala, terutama terkait pemenuhan kebutuhan fasilitas pembelajaran.

Dengan dukungan yang berkelanjutan, diharapkan SB dapat terus berkembang dan memberikan manfaat lebih besar bagi anak-anak PMI di Malaysia.

Berbagai upaya yang telah dan terus dilakukan KBRI dan perwakilan RI di Semenanjung Malaysia dalam memastikan akses pendidikan bagi anak-anak pekerja migran harus mendapat dukungan dari seluruh pihak di tanah air.

Tidak hanya di Malaysia, pemenuhan akses pendidikan serupa juga harus diberikan negara kepada anak-anak pekerja migran lain di berbagai belahan dunia lainnya.(*)

Halaman :

Terkini