Yogyakarta,sorotkabar.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang pertama kali digagas pada 2008 hingga kini belum juga disahkan, meski berkali-kali masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas).
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenurrohman, menilai keterlambatan itu tidak lepas dari resistensi elite politik maupun birokrasi.
“RUU ini sudah 17 tahun sejak pertama kali dirancang. Berkali-kali masuk prolegnas, tapi tidak pernah dibahas serius. Menurut saya, salah satunya karena ada ketakutan dari para elite,” kata Zaenurrohman di Yogyakarta, Jumat (19/9/2025).
Ia menjelaskan, kekhawatiran tersebut muncul karena aturan ini berpotensi menjerat kekayaan yang asal-usulnya tidak jelas.
“Kalau RUU ini disahkan, justru bisa jadi bumerang bagi mereka. Harta yang tidak sah bisa dirampas negara,” ujarnya.
Zaenurrohman menyoroti fenomena harta pejabat yang tidak sejalan dengan laporan LHKPN maupun gaya hidup sehari-hari. Banyak aset yang diduga tidak dilaporkan, baik oleh elite politik, birokrat, maupun aparat penegak hukum.
Menurutnya, jika RUU ini dibahas kembali, substansi aturan harus benar-benar kuat agar tidak hanya menjadi formalitas.
“Jangan sampai hanya disahkan untuk meredam tekanan publik, tapi tidak punya gigi.
Aturan harus memberi kewenangan negara merampas aset yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya melalui mekanisme peradilan, tetap dengan menjamin hak pembelaan diri,” jelasnya.
Meski mendukung pengesahan, ia juga mengingatkan adanya risiko penyalahgunaan kewenangan. “Kalau pasalnya terlalu digdaya, ada potensi dipakai sebagai alat pemerasan oleh oknum penegak hukum. Karena itu, tidak boleh diberikan cek kosong,” tegasnya.
Zaenurrohman menilai pengesahan RUU harus berjalan seiring dengan reformasi institusi hukum. Perubahan harus dilakukan menyeluruh, mulai dari proses rekrutmen, promosi, mutasi, pengawasan, hingga penjatuhan sanksi. “Tanpa perbaikan di kepolisian, kejaksaan, dan KPK, aturan ini bisa rawan disalahgunakan,” pungkasnya.(*)