Jakarta,sorotkabar.com - Bolivia sedang menghadapi salah satu krisis ekonomi terburuk dalam sejarahnya. Risiko gagal bayar utang luar negeri semakin nyata, di tengah inflasi melonjak dan cadangan devisa yang nyaris habis. Kondisi ini menambah kecemasan sosial dan memperparah ketidakstabilan ekonomi di kalangan masyarakat.
Sumber daya alam seperti gas dan litium yang melimpah ternyata belum cukup menyelamatkan negara berpenduduk 12 juta jiwa itu dari krisis. Sebaliknya, Bolivia kini menjadi salah satu negara termiskin di Amerika Latin.
Masalah dimulai sejak 2023, ketika perusahaan minyak dan gas milik negara, YPFB, menyatakan bahwa cadangan gas alam, salah satu komoditas ekspor utama Bolivia telah menipis akibat minimnya investasi eksplorasi.
Penurunan ekspor gas secara drastis membuat pendapatan negara anjlok dan berdampak langsung pada turunnya cadangan devisa.
Akibatnya, Bolivia kesulitan mengimpor bahan bakar yang selama ini sangat disubsidi untuk kebutuhan domestik. Ini memicu inflasi besar-besaran, yang pada Mei 2025 tercatat mencapai 18,4% secara tahunan dan jadi angka tertinggi dalam hampir dua dekade. Mata uang lokal, Boliviano, pun terus melemah.
Presiden Bolivia Luis Arce Catacora mengatakan, negara kini berada di ambang gagal bayar. Ia menyebut pemerintah memiliki iktikad untuk melunasi kewajiban, tetapi tanpa dukungan pendanaan baru, kemungkinan default makin besar.
“Kami berusaha untuk tidak gagal bayar. Kami memiliki niat untuk membayar utang kami, tetapi bagaimana jika kami tidak memiliki sumber daya?” kata Arce dikutip dari AFP, Sabtu (21/6/2025).
Saat ini, total utang luar negeri Bolivia tercatat sebesar US$ 13,3 miliar atau sekitar Rp 218,06 triliun. Utang ini sebagian besar berasal dari lembaga, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Inter-Amerika, CAF (Bank Pembangunan Amerika Latin dan Karibia), serta Tiongkok.
Bank Dunia mencatat bahwa beban utang tersebut telah melampaui 37% dari total pendapatan nasional bruto Bolivia. Terakhir kali negara ini mengalami gagal bayar utang terjadi pada 1984 atau 41 tahun yang lalu.
Situasi makin pelik karena parlemen Bolivia menolak permintaan pemerintah untuk mencari pinjaman baru sebesar US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 29,51 triliun dari lembaga multilateral.
Padahal, Bolivia membutuhkan dana sekitar US$ 2,6 miliar atau setara Rp 42,62 triliun pada Desember nanti untuk membayar utang dan mengimpor bahan bakar.
“Kita membuat kesepakatan terburuk sebagai sebuah negara. Karena saat negara memiliki utang luar negeri, Anda membayar pokok dan bunga kepada kreditor, dan arus keluar dolar itu dikompensasi oleh arus masuk pencairan baru dari utang baru, yang tidak terjadi,” pungkas Arce.(*)