Jakarta,sorotkabar.com - Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Pancasila Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A. menyatakan pihaknya mendukung penuh kebijakan kehutanan berpihak kepada masyarakat dan lingkungan.
Hal itu diungkapkan Prof. Eddy saat FGD Kajian Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan: Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan, di Universitas Pancasila, Jakarta, Rabu (7/5).
Prof. Eddy menjelaskan FGD bertujuan untuk menganalisis Perpres No. 5 Tahun 2025 secara komprehensif dengan membandingkan ketentuannya terhadap UU No. 6 Tahun 2023, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 24 Tahun 2021, serta beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
"Selain itu, forum ini juga mengkaji dampak kebijakan penertiban kawasan hutan terhadap hak-hak masyarakat dan kepastian hukum perizinan, serta memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan," ujar Eddy.
Menurut Eddy, kampus memiliki kewajiban agar pelaksanaan aturan kehutanan tetap memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi dalam tata kelola hutan dan lingkungan.
Eddy berharap melalui paparan para ahli, diskusi interaktif, dan tanya jawab dengan peserta, FGD menghasilkan pemetaan persoalan yang komprehensif serta rekomendasi strategis untuk memperkuat tata kelola kawasan hutan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan.
"Dengan adanya FGD ini, UP menegaskan komitmennya untuk mendorong reformulasi kebijakan kehutanan nasional yang berpihak pada perlindungan lingkungan hidup, penghormatan hak-hak masyarakat, serta komitmen Indonesia terhadap agenda perubahan iklim global," beber Eddy.
FGD juga diharapkan menjadi ruang dialog yang konstruktif dalam merumuskan kebijakan kehutanan yang tidak hanya legal secara normatif, tetapi juga adil secara sosial dan ekologis, serta berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Guru Besar Ahli Hukum FH UP Prof. DR. Agus Surono menyebut ada beberapa catatan sementara terkait kajian atas Pepres Nomor 5 2025.
Menurut Prof. Agus, Pepres 5 Nomor 2025 belum sesuai dengan jiwa dan semangat UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Tatacara Administratif dan Tatacara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.
"Perpres Nomor 5 Tahun 2025 menggunakan sanksi pidana dalam penertiban kawasan hutan, padahal UU Nomor 6 tahun 2023 dan PP Nomor tahun 2021 telah menekankan prinsip ultimatum remedium, yaitu mengedepankan saksi administratif sebelum pidana," ungkap Agus.
Selain itu, kata dia, berdasarkan Peraturan Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, dalam lampirannya tentang materi muatan peraturan perundang-undangan yang dapat memuat ketentuan pidana hanya dalam peraturan setingkat undang-undangan dan perda dengan menerapkan sanksi pidana.
"Di dalam konsideran menimbang Perpres Nomor 5 Tahun 2025 menggunakan Pasal 110 A dan 110 B nomor 18 tahun 2013 jo UU No. 6 Tahun 2023 dan PP No. 24 tahun 2021 sebagai dasar hukumnya," kata Agus.
Agus melanjutkan Pasal 4 sampai dengan 7 Perpres Nomor 5 Tahun 2025 yang mengatur pemidanaan justru bertentangan dengan filosofi Pasal Pasal 110 A dan 110 B nomor 18 tahun 2013 jo UU No. 6 Tahun 2023 dan PP No. 24 tahun 2021 yang lebih menekankan penyelesaian administrasi.
"Penjelasan umum PP No. 24 Tahun 2021: 'Undang-undang No. 1 2020 tentang Cipta Kerja memuat terobosan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimatym remedium yaitu mengedepankan pengenaan sanksi administratif sebelum dikenai sanksi pidana," pungkas Prof. Agus.
Dalam forum ini, hadir sejumlah narasumber lintas sektor yang memberikan perspektif multidisiplin, di antaranya Prof. Dr. Agus Surono, SH., MH. dari Universitas Pancasila yang membedah aspek hukum Perpres No. 5 Tahun 2025, Ardito Muwardi, S.H., M.Hum
Koordinator I Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung selaku Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang membahas implementasi dan langkah ke depan, Uli Arta Siagian dari WALHI yang menyoroti Perpres ini dari perspektif lingkungan, Dr. Sadino, S.H., M.H. dari Universitas Al Azhar Indonesia yang mengkaji perlindungan hak masyarakat dalam hukum kehutanan serta Setiyono, dari Asosiasi Perkebunan Rakyat Indonesia.
Acara ini dihadiri sekitar tujuhpuluh lima (75) Peserta aktif FGD yang berasal dari kalangan akademisi, penegak hukum, kementerian terkait, asosiasi pengusaha, advokat, hingga perwakilan LSM dan NGO, sehingga diskusi berlangsung kaya akan sudut pandang dan pengalaman lapangan.(*)