Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Krisis Ekologis Wajah Lain Kekerasan Terhadap Perempuan

Jumat, 06 Desember 2024 | 06:30:39 WIB

Pekanbaru, sorotkabar.com – Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Tahun ini Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengangkat tema “Lindungi semua, penuhi hak korban, akhiri kekerasan terhadap perempuan”.

Tema ini dipilih sebagai seruan   kuat untuk melindungi perempuan, memenuhi hak-hak korban, dan mengakhiri segala bentuk kekerasan berbasis gender. WALHI Riau menilai, peringatan HAKTP juga menjadi momen untuk refleksi bahwa kekerasan perempuan  yang kerap terjadi sejalan dengan maraknya eksploitasi terhadap sumber daya alam yang menyebabkan rusaknya ekosistem sehingga akan menambah beban domestik perempuan dan juga hilangnya ruang hidup  masyarakat.

Sri Wahyuni atau Ayu, Dewan Daerah WALHI Riau, menjelaskan bagaimana kekerasan terhadap perempuan sejalan dengan rusaknya lingkungan.

Kerusakan lingkungan yang terjadi salah satunya akibat maraknya izin-izin yang diberikan pemerintah kepada korporasi yang kerap tidak memperhatikan dampak lingkungan.

"Misalnya saja dua pulau kecil di Provinsi Riau yaitu Pulau Mendol dan Pulau Rupat yang dikepung oleh ekspansi perkebunan . Kedua pulau tersebut merupakan pulau kecil yang seharusnya dilindungi bukan diberikan kepada korporasi perusak lingkungan. Jika ruang penghidupan masyarakat diambil , lalu bagaimana mereka akan menghidupi dirinya dan keluarganya?,” jelas Ayu.

Selain dua pulau kecil tersebut, masyarakat di Desa Pulau Bayur, Kecamatan Cerenti, Kabupaten Kuantan Singingi, ruang penghidupannya terusik akibat adanya izin dan aktivitas tambang batu bara di wilayah tersebut. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir tepatnya di Desa Batu Ampar, masyarakat juga mengalami kerugian besar akibat adanya aktivitas blasting yang merusak rumah warga.

Aktivitas tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah hanya melihat alam sebagai modal tanpa memikirkan bagaimana dampak yang ditimbulkan dan siapa yang menanggung akibat dari aktivitas tersebut.

“Maraknya eksploitasi akibat perizinan industri ekstraktif dan ekspansi perkebunan kelapa sawit memiliki kontribusi signifikan terhadap krisis ekologis. Dalam situasi ini, ketika sumber daya alamnya rusak, perempuan justru akan menghadapi beban ganda dan rentan mengalami kekerasan berbasis gender,” kata Ayu.

Sri Depi Surya Azizah, staf WALHI Riau, menyatakan  berbagai aktivitas yang dapat merusak lingkungan hidup justru akan memperparah krisis iklim yang saat ini sudah dirasakan semua kalangan termasuk masyarakat di Provinsi Riau khususnya di wilayah perkotaan.

Depi juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak serius dalam menanggapi persoalan ini, salah satunya terkait persoalan sampah. 
Saat ini dampak buruk pengelolaan sampah menimbulkan berbagai masalah, seperti pencemaran lingkungan, buruknya sanitasi, dan banjir.

Berbagai masalah ini mempengaruhi kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. “Beban paling berat akibat masalah tersebut dirasakan oleh perempuan, sebab mereka yang banyak menangani kebutuhan domestik sekaligus memastikan kesehatan anggota keluarganya. Padahal dirinya sendiripun sudah mengalami kesulitan karena secara biologis sangat bergantung dengan keberadaan air bersih,” jelas Depi.

Depi juga memaparkan sejalan dengan kerusakan ekologis yang terjadi, perempuan adat dan lokal sebagai kelompok yang sangat bergantung pada sumber daya alamnya, kerap terlibat aktif menyuarakan perjuangannya agar ruang hidupnya dilindungi oleh negara.

Namun, perjuangan perempuan dalam memperjuangkan HAM dan Lingkungan Hidup ternyata juga seringkali menjadi sasaran kekerasan, seperti yang dialami oleh para perempuan di Pulau Rempang. Kekerasan tersebut bermula ketika sekelompok preman melakukan intimidasi terhadap beberapa masyarakat dan kelompok perempuan bahkan menyebabkan warga menjadi korban dan satu orang lansia perempuan mengalami patah tulang. 
“Ketika Perempuan Pembela HAM dan Lingkungan Hidup melakukan perjuangan ia akan mengalami kerentanan dan kekerasan khusus. Hal ini karena perempuan memiliki situasi yang berbeda dengan pembela HAM laki-laki. Sistem patriarki yang telah mengakar di masyarakat kerap membuat gerak perempuan tidak seluas laki-laki. Ia kerap tidak didengar dan dinomorduakan  dan selalu diletakkan di ranah  domestik. Kondisi inilah yang membuat terbatasnya ruang gerak Perempuan Pembela HAM,” jelas Depi.

Pada momen 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun ini, WALHI Riau bersama beberapa komunitas di Riau akan menyelenggarakan rangkaian kegiatan memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kegiatan ini mencakup diskusi dan aksi untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu kekerasan terhadap perempuan, terutama dalam konteks krisis iklim. Sebagai puncaknya, pada tanggal 10 Desember 2023, WALHI Riau akan meluncurkan sebuah film yang mengangkat perjuangan masyarakat khususnya perempuan dalam memperjuangkan tanah dan ruang hidupnya.(rls)

Terkini