Laporan PBB Ungkap 60 Negara Bantu Israel Lancarkan Genosida ke Gaza

Kamis, 23 Oktober 2025 | 20:55:44 WIB
XPecahan rudal buatan AS ditemukan di lokasi serangan Israel terhadap sekolah yang dikelola PBB di Nuseirat pada 6 Juni 2024.(repbulik)

Jenewa,sorotkabar.com – Sebuah laporan baru PBB mengungkapkan bahwa lebih dari 60 negara terlibat dalam “kejahatan kolektif” yang memungkinkan terjadinya genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza. 

Versi lanjutan dari laporan pelapor khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, Francesca Albanese, itu dilansir pada Senin. 

Dalam laporan keduanya tahun ini, Albanese menyebut genosida sebagai “kejahatan kolektif, yang didukung oleh keterlibatan negara-negara Ketiga yang berpengaruh yang memungkinkan terjadinya pelanggaran sistematis terhadap hukum internasional oleh Israel”.

 “Dibingkai oleh narasi kolonial yang tidak memanusiakan warga Palestina, kekejaman yang disiarkan langsung ini telah difasilitasi melalui dukungan langsung dari Negara Ketiga, bantuan material, perlindungan diplomatik dan, dalam beberapa kasus, partisipasi aktif.

Middle Esat Eye melansir, laporan tersebut menunjukkan bahwa tanpa dukungan sebagian besar negara-negara Eropa, Israel tidak akan mampu mempertahankan serangan penuhnya terhadap Gaza.

Dia mengkategorikan dukungan tersebut ke dalam empat kategori utama: diplomatik, militer, ekonomi dan kemanusiaan.  

Albanese berpendapat bahwa kekebalan diplomatik bagi Israel dan kegagalan untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas pelanggaran hukum internasional, khususnya di negara-negara Barat, telah memungkinkan Israel untuk melanjutkan genosida tanpa mendapat hukuman. 

Laporan tersebut mengatakan bahwa hal ini terjadi melalui media Barat dan wacana politik, yang “membeo narasi Israel” dan gagal membedakan antara Hamas dan warga sipil Palestina, dan memanfaatkan kiasan kolonial mengenai hak Israel untuk mempertahankan diri sebagai negara “beradab” melawan “orang-orang biadab”. 

Albanese menyoroti bahwa AS menggunakan hak veto Dewan Keamanan PBB sebanyak tujuh kali untuk mengendalikan perundingan gencatan senjata dan memberikan perlindungan diplomatik atas genosida tersebut.

Namun dia mencatat bahwa AS tidak bertindak sendiri. Hal ini terbantu oleh sikap abstain dan penundaan, serta rancangan resolusi yang lebih lunak dari Inggris, Australia, Selandia Baru, Kanada, Jerman, dan Belanda. Semua tindakan ini menghambat tindakan nyata sekaligus menciptakan “ilusi kemajuan”.

Meskipun ia mencatat bahwa negara-negara Arab dan Muslim mendukung perjuangan Palestina, mereka gagal mengambil “tindakan tegas” dan beberapa pemain regional “memfasilitasi rute darat ke Israel, melewati Laut Merah”. 

Mesir terus menjaga hubungan dengan Israel, termasuk kerja sama energi dan penutupan penyeberangan Rafah. 

Dia menyoroti kegagalan penting yang berkaitan dengan pengadilan internasional, termasuk fakta bahwa sebagian besar negara-negara barat gagal mendukung Afrika Selatan atau Nikaragua di hadapan ICJ dan terus menyangkal bahwa Israel telah melakukan genosida, serta menjunjung tinggi keputusan ICJ mengenai ilegalitas pendudukan Israel di Palestina. 

Selain itu, laporannya mengatakan bahwa sebagian besar negara-negara Barat telah melanggar surat perintah penangkapan yang dikeluarkan ICC terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan anggota pemerintah lainnya. Sebaliknya, Amerika malah menjatuhkan sanksi terhadap ICC, dan Inggris mengancam akan menarik pendanaannya.

Meskipun ada resolusi PBB yang menyerukan embargo senjata terhadap Israel sejak tahun 1976, laporan tersebut mencatat bahwa banyak negara memberikan dukungan militer dan transfer senjata selama genosida terjadi, dan menggambarkan AS, Jerman, dan Italia sebagai “di antara pemasok terbesar”. 

AS saat ini menjamin 3,3 miliar dolar AS per tahun dalam Pembiayaan Militer Asing (FMF) dan, hingga tahun 2028, tambahan 500 juta dolar AS per tahun untuk pertahanan rudal. 

Dia menyoroti peran kunci yang dimainkan Inggris dalam kerja sama militer dengan Israel dan melaporkan lebih dari 600 penerbangan pengawasan di Israel dan pembagian intelijen dengan pemerintahnya, yang menurutnya menunjukkan “kerja sama dalam penghancuran Gaza”. 

Albanese mengatakan 26 negara mengirimkan setidaknya 10 kiriman “senjata dan amunisi” – yang paling sering adalah Tiongkok (termasuk Taiwan), India, Italia, Austria, Spanyol, Ceko, Rumania, dan Prancis.

Dia mengatakan 19 negara, 17 di antaranya telah meratifikasi Perjanjian Perdagangan Senjata, terlibat dalam memasok komponen dan suku cadang untuk “program pesawat tempur siluman F-35” yang merupakan kunci serangan militer di Gaza. 

Negara-negara tersebut termasuk Australia; Belgia; Kanada; Republik Ceko; Denmark; Finlandia; Jerman; Yunani; Italia; Jepang; Belanda; Norwegia; Polandia; Korea Selatan; Rumania; Singapura; Swiss; Inggris; dan AS. Beberapa negara ini terus memasok suku cadang. 

Meskipun Perjanjian Perdagangan Senjata tidak mengakui perbedaan antara penjualan senjata “defensif” dan “tidak mematikan”, beberapa negara menggunakan istilah-istilah ini untuk membenarkan perdagangan senjata ke Israel. 

Beberapa negara, seperti Italia, Belanda, Irlandia, Prancis, dan Maroko, mengizinkan pemindahan senjata melalui pelabuhan dan bandara mereka. Dia mencatat bahwa Spanyol dan Slovenia telah membatalkan kontrak dan memberlakukan embargo. 

Negara-negara lain terus membeli senjata dan teknologi militer yang diproduksi oleh Israel, yang menurut laporan tersebut telah diuji pada warga Palestina di bawah pendudukan. 

Ekspor ke UE meningkat lebih dari dua kali lipat selama perang Israel di Gaza dan menyumbang 54 persen dari ekspor militer Israel pada tahun 2024. Ekspor ke Asia dan Pasifik serta negara-negara Arab berdasarkan Perjanjian Abraham masing-masing menyumbang 23 dan 12 persen dari ekspor.

Laporan tersebut mengatakan bahwa pemeliharaan hubungan perdagangan normal dengan Israel “melegitimasi dan menopang rezim apartheid Israel”. Meskipun  tahun 2024, Albanese mencatat Uni Eropa (mitra dagang terbesar Israel) terus memberikan hampir sepertiga dari total perdagangan ke Israel selama dua tahun terakhir. 

Beberapa negara Eropa meningkatkan perdagangannya dengan Israel selama genosida terhadap Palestina, seperti Jerman, Polandia, Yunani, Italia, Denmark, Prancis, dan Serbia.

Negara-negara Arab seperti UEA, Mesir, Yordania, dan Maroko juga meningkatkan perdagangannya. Hanya Turki yang menghentikan perdagangan dengan Israel pada Mei 2024, meskipun Albanese melaporkan beberapa perdagangan terus berlanjut secara tidak langsung. 

Albanese mengatakan bahwa sebelum serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel selatan pada tanggal 7 Oktober 2023, sebagian besar warga Palestina bergantung pada bantuan, dan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (Unrwa) menyediakan landasan bantuan tersebut.

Albanese menunjukkan bahwa ketika Israel menuduh staf Unrwa terlibat dalam serangan yang dipimpin Hamas tanpa mengutip bukti, 18 negara segera menghentikan pendanaan tanpa menyelidiki klaim Israel. 

Meskipun penyelidikan Israel tidak meyakinkan, sebagian besar donor membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk melanjutkan kontribusinya ke Unwra. AS, donor terbesarnya, mengesahkan undang-undang yang melarang pendanaan AS untuk Unwra. Ketika Knesset Israel melarang Unrwa, hanya sedikit negara yang mengambil tindakan dengan meminta Opini Penasihat ICJ.

Laporan tersebut menuduh negara-negara seperti Kanada, Inggris, Belgia, Denmark, dan Yordania mengalihkan perhatian mereka dari isu utama dengan bantuan yang dijatuhkan dari udara, sebuah tindakan yang menurutnya berbahaya dan tidak efektif. 

Albanese, yang merupakan salah satu kritikus paling vokal dan keras terhadap perilaku Israel di Gaza selama dua tahun genosida, mengatakan bahwa negara-negara yang terlibat dalam hal ini melanggengkan “praktik kolonial dan ras-kapitalis yang seharusnya sudah lama dimasukkan ke dalam sejarah”. 

“Bahkan ketika kekerasan genosida mulai terlihat, negara-negara, sebagian besar negara-negara Barat, telah memberikan, dan terus memberikan, dukungan militer, diplomatik, ekonomi dan ideologi kepada Israel, bahkan ketika mereka mempersenjatai kelaparan dan bantuan kemanusiaan,” katanya.

 “Kengerian yang terjadi dalam dua tahun terakhir bukanlah sebuah penyimpangan, tapi puncak dari sejarah panjang keterlibatan.(*) 
 

Terkini