Jakarta,sorotkabar.com – Skandal korupsi dalam tata kelola minyak nasional kembali menelanjangi jantung rapuh sistem energi Indonesia. Nama Riza Chalid — pengusaha migas yang dikenal dekat dengan lingkaran elite — mencuat bersama 15 perusahaan yang diduga menikmati keuntungan dari praktik manipulasi impor dan distribusi minyak senilai Rp285 triliun.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (9/10/2025), jaksa penuntut umum (JPU) membeberkan fakta mengejutkan: keuntungan ilegal senilai Rp2,5 triliun mengalir ke sejumlah perusahaan lokal dan asing dari hasil pengaturan proyek dan penyewaan fasilitas BBM yang tidak diperlukan.
“PT Pertamina telah menyewa Terminal BBM Merak atas permintaan Mohamad Riza Chalid, meskipun secara teknis tidak dibutuhkan. Keputusan itu menimbulkan beban keuangan negara hingga Rp2,9 triliun,” ungkap JPU dalam pembacaan dakwaan terhadap eks Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Riza Chalid, yang ditetapkan sebagai tersangka sejak Juli 2025, disebut memiliki pengaruh besar dalam keputusan bisnis Pertamina. Ia diduga memanfaatkan posisinya sebagai beneficiary owner PT Orbit Terminal Merak untuk mendorong penyewaan terminal BBM yang tidak relevan dengan kebutuhan operasional.
Namun, perkara ini ternyata jauh lebih luas dari satu proyek. Jaksa menemukan jaringan keuntungan lintas perusahaan dan negara, melibatkan dua perusahaan asing dan 13 korporasi lokal besar.
Korporasi Asing di Balik Untung
Dua perusahaan asal Singapura disebut mendapat keuntungan langsung dari skema impor BBM:
BP Singapore Pte. Ltd. – untung US$3,6 juta dari pengadaan RON 90 dan US$745 ribu dari RON 92.
Sinochem International Oil (Singapore) Pte. Ltd. – untung US$1,39 juta dari pengadaan RON 90.
Perusahaan Nasional di Jalur Untung
Sementara itu, 13 perusahaan besar dalam negeri disebut diuntungkan dari penjualan BBM non-subsidi, termasuk:
PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, PT Pama Persada Nusantara, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Vale Indonesia Tbk, dan PT Indo Tambangraya Megah.
Total keuntungan yang dikantongi perusahaan-perusahaan tersebut ditaksir mencapai Rp2,5 triliun.
Jaksa menyebut, keuntungan itu bukan hasil efisiensi bisnis, melainkan buah dari “rekayasa harga” dan penyalahgunaan kewenangan di internal Pertamina dan subholding-nya.
“Rangkaian perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp285 triliun dan kerugian perekonomian mencapai Rp171,9 triliun,” tegas JPU.
Selain Riza Chalid dan Riva Siahaan, empat pejabat penting lain di tubuh Pertamina juga sudah didakwa, antara lain Maya Kusmaya, Edward Corne, dan Sani Dinar Saifuddin.
Mereka diduga memperkaya korporasi asing dan domestik lewat pengaturan tender, pelelangan fiktif, serta kebijakan penjualan solar non-subsidi di bawah harga dasar.
Bisnis Minyak, Lahan Basah yang Tak Pernah Kering
Pengamat energi Fadhil Hasan menilai kasus ini membuka kembali luka lama dunia migas Indonesia — di mana tata kelola minyak menjadi arena tarik-menarik kepentingan antara korporasi besar dan elit politik.
“Selama sistemnya masih memberi celah bagi keputusan non-teknis masuk dalam kebijakan energi, praktik seperti ini akan berulang. Ada oligarki yang bermain di balik layar,” ujarnya.
Fadhil juga menyoroti bahwa sebagian besar keuntungan perusahaan berasal dari selisih harga impor dengan minyak domestik. “Negara membayar mahal untuk kebijakan yang dikendalikan oleh segelintir orang,” katanya.
Sementara itu, kalangan DPR meminta Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM melakukan audit total terhadap rantai pengelolaan minyak Pertamina, termasuk hubungan antara anak perusahaan dan pihak swasta.
“Kasus ini bukan hanya tentang individu, tapi sistem yang memungkinkan intervensi bisnis pribadi dalam kebijakan strategis negara,” ujar Anggota Komisi VII DPR, Anwar Sadat.
Potret Suram Tata Kelola Energi
Skandal ini menjadi tamparan keras bagi industri migas nasional. Dengan kerugian yang mencapai Rp285 triliun, setara hampir 10 persen APBN 2025, publik menilai ini bukan sekadar kasus korupsi biasa, tapi bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan energi bangsa.
“Yang rugi bukan hanya negara, tapi rakyat yang membayar mahal untuk BBM,” kata ekonom Bhima Yudhistira.
Menurutnya, kasus ini harus menjadi momentum reformasi besar-besaran agar bisnis energi nasional benar-benar kembali untuk kepentingan publik, bukan segelintir elit.(*)